
Gurutta KH. Abd.
Muin Yusuf (Kali Sidenreng) lahir di Rappang, 21 Mei 1920. Beliau anak ke tiga dari pasangan H. Muh. Yusuf (Pammana
Wajo) dengan A. Khatijah (Rappang Sidrap). Dalam catatan silsilahnya, Gurutta
masih keturunan seorang ulama besar di Wajo pada masa itu yaitu Anregurutta KH.
Muh. Nur. Di garis keturuan ibu, Gurutta mempunyai pertalian darah dengan
bangsawan Rappang, yaitu Petta Sulle Watang Rappang (pejabat bawahan dari
Addatuang Sidenreng).
Dalam setiap
kesempatan, Petta Sulle sering menasehati kedua orang tua Gurutta agar
memperhatikan pendidikan anak-anaknya “maelokoga pancaji pakkampi sapingngi
ana’mu narekko marajani”.
Orang tua Gurutta
sangat sibuk di dunia perdagangan, namun tidak mengalihkan kecintaannya pada
agama, untuk mengarahkan Gurutta pada pendidikan agama.
Selain itu Gurutta
sendiri mendapat perhatian khusus, tidak hanya dari kedua orang tuanya, tetapi
juga dari nenek-neneknya yang ikut mengontrok pendidikannya. Nenek Pammana dari
keluarga bapak justru meramalkan Gurutta bakal menjadi “Paramata Jamarro”.
Kedua orang tuanya sangat mencintai Gurutta karena ia bisa ceramah di depat
umum serta membaca al-Qura’an secara fasih.
Disampaing dari
orang tua, Gurutta juga banyak mendapat arahan dan dorongan untuk memperdalam
ilmu agama dari sang nenek dari jalur ibu yang bernama Puang Ngakka. Beliau
inilah kemudian yang mempunyai andil sangat besar dalam menentukan karier
Gurutta. Kecintaan Puang Ngakka terhadap cucunya yang dilihatnya sebagai anak
patuh, penurut dan mempunyai bakat memperdalam agama mendorong untuk mengambil
andil dalam menanggun sebagia biaya sekolah Gurutt. Bahkan ketika Gurutta
belajar di Mekkah, ia pun tak segan-segan menjual tanahnya untuk dijadikan
biaya sekolah Gurutta disana.
Bahkan Syeikh Ali
Mathar (salah satu ulama besar sidenreng) juga memberikan perhatian khusus
kepada kemanakannya. Perhatian khusus tersebut menjadi lebih besar lagi ketika
Syeikh Ali Mathar kedatangan tamu dari Madinah yang bernama Syeikh Abdul Jawad.
Dalam pesannya Syeikh Abdul Jawad mengatakan kepada Syeikh Ali Mathar agar
Gurutta dijaga dengan baik karena ia melihat adanya tanda-tanda pada diri
Gurutta yang akan menjadi seorang ulama besar di kemudian hari.
Ketika memasuki usia
7 tahun Gurutta mulai belajar mengaji kepada salah seorang guru ngaji (Kyiai)
kampong yang bernama H. Patang. Kemudian
masuk sekolah umum di Insladsche School yang waktu sekolahnya pagi hari,
sedangkan pada sore harinya ia belajar agama di sekolah Ainur Rafieq. Sekolah
yang didirikan oleh Syeikh Ali Mathar setelah ia memutuskan untuk tidak
mengajar di sekolah Muhammadiyah yang disebabkan oleh adanya perbedaan
pandangan tentang paham keagamaan. Itulah sebabnya sehingga Gurutta tidak sempat
menyelesaikan pendidikannya di sekolah Muhammadiyah tersebut karena harus keluar
dari sekolah itu dan ikut dengan sekolah yang didirikan pamannya, yaitu sekolah
Ainur Rafieq (cikal bakan YMPI Rappang).
Syeikh Ali Mathar
adalah orang pertama yang member dasar pelajaran agama kepada Gurutta.
Guruttapun mengakui hal tersebtu dengan menyatakan bahwa ilmu yang beliau dapat
itu ibarat kelapa, maka syeikh Ali Mathar adalah orang yang mengawali membuka
kulitnya.
Selanjutnya pada
tahun 1934, Gurutta kemudian melanjutkan penddikannya di Madarasah Arabiyah
Islamiyah (MAI) yang didirikan oelh ulama Besar Yakni Anregurutta H. As’ad pada
tahun 1931 di Sengkang. Ketokohan, charisma, serta luasnya ilmu agama yang
dimiliki Gurutta As’ad menjadikannya banyak didatangni murid dari berbagai
daerah, termasuk Gurutta Abdul Muin Yusuf. Oleh karena itu, pada saat itu
pulalah Sengkang menjadi pusat pendidikan agama Islam di Sulawesi Selatan
sehingga sulit menemukan ulama besar di sul-sel yang tidak pernah belajar di
Sengkang. Selama Gurutta belajar di Sengakang, ia banyak bertemu dan bergaul
denga orang yang kelak menjadi ulama besar di sul-sel seperti, AGH. Ambo Dalle,
AGH. Abduh Pabbajah, AGH. Daud Ismail, AGH. Rafiq Sulaeman, dsb.
Konflik antara Ainur
Rafieq dengan Muhammadiyah tidak membuat Gurutta bersikap untuk tidak
berhubungan dengan orang Muhammadiyah. Ia pun memutuskan untuk masuk sekoalh
normal Islam di Majene dan di Pinrang dimaana sekolah tersebut didirikan oelh
orang Muhammadiyah yang berasal dari Sumatera. Justru setelah belajar di Normal
Islam, Gurutta semakin tidak fanatic dalam berfikir dan berpegang pada satu
mazhab.
Sewaktu menunaikan
ibada haji di Makkah, secara kebetulan dibuka penerimaan murid baru di Darul
Falah Makkah dan Gurutta pun mendaftarkan diri. Baginya, tes masuk ke sekolah
itu tidaklah terlalu sulit. Kecerdasan dan penguasaan pada ilmu-ilmu yang
diperolehnya selama belajar di Indonesia membawanya menduduki rangking-2 satu peringkat di bawah Syeikh Muhammad
Syalthout (Grand Syeikh Al-Azhar). Selama satu tahun lebih belajar di Makah
sampai memperoleh gelar di bidang Muqaranah (Perbandingan Mazhab).
Sekembali dari
Makah, Gurutta kemudian belajar secara informal kepada seorang ulama tasawuf
yang bernama Syeikh Ahmad Jamaluddin yang lebih dikenal sebagai Syeikh Jamal
Padaelo. Dari sinilah Gurutta semakin mendalami ilmu ma’rifat lewat bimbingan
Syeikh Jamal Padaelo. Gurutta kemudian kelak yang menggantikan Syeikh Jamal
Padaelo menjadi Kadhi di Wilayah Sidenreng Rappang.
Dalam menjalani
kehidupannya, Gurutta menikah sebanyak 3 kali, pada pernikahan pertamnya
Gurutta mempersunting puteri Syeikh Jamal Padaelo yaiut Hj. Baderiah Binti
Syeikh Ahmad Jamaluddin, dari pernihakan tersebut dikarunia 6 orang anak yakni,
I Nurung (lebih dahulu menghadap Allah SWT), Hj. Fauziyah Muin, H. Farid Muin,
Alm. Hj. Mardawiyah Muin, Hj. Kaltsum Muin, H. Surkati Muin.
Istri kedua Gurutta
yaitu Andi Oja puteri seorang pejuang kemerdekaan yang bernama A. Takko yang
sangat berpengaruh di daerah Tanru Tedong Sidrap. Kemudian anak Hj. Andi
Subaedah, A. Nasir (Alm) dan Hj. Andi Sulakha.
Sedangkan istri
ketiga Gurutta sewaktu masih bergabung dengan DI/TII adalah A. Norma yang masih
kerabat dekat dengan Kahar Muzakkar dan mempunyai anak bernama A. Nahidah.
Dalam usia yang
masih muda (22 tahun) tepatnya pada tahun 1942 Gurutta diangkat menjadi kadhi
(kali) sebagai partner Addatuang Sidenreng dalam bidang agama.
Masa Perjuangan
Kemerdekaan
Pada masa merebut
kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Gurutta pun sangan memiliki peran
yang sangat luar biasa. Gurutta terlibat langsung membentuk Partai Nasional
Indonesia Cabang Rappang tahun 1945 lewat jalur diplopasi yang ditingkat
Wilayah ada DR. Ratulangi dan Pusat ada Bung Karno.
Gurutta juga member
kontribusi langsung dan paling nyata ketiak terjadi peristiwa penyerangan Bambu
Runcing pada tanggal 10-12 juli 1946 dengan menyerang kota rappang sebagai
titik pusat pertahanan tentara Belanda bersama A. Cammi.
Kemudian untuk
menghidari operasi Westerling Gurutta ke Soppeng karena Soppeng adalah daerah
underadeling dari Wajo, sedangkan Wajo terlibat dalam persekutuan Tellumpoccoe
yang memihak pada Belanda. Oleh karena itu, Soppeng tidak termasuk wilayah
operasi Westerling. Di sana Gurutta bertemu dengan AGH. Ambo Dalle dan AGH.
Abduh Pabbaja yang juga menghindari operasi. Disanalah dibantu oleh AGH. Daud
Ismail yang kemudian menjadi cikal bakal pendeklarasia Organsasi Darul Dakwah
Wal Irsyad (DDI) pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 M./5 Februari 1947.
Masa Orde Baru
Gurutta adalah
seroang politisi handal yang sangat disegani baik kawan maupun lawan pada
pemerintahan Bupati Sidrap H. Arifin Nu’mang. Gurutta pernah menduduki kursi
DPRD selama 2 periode pasca terbentuknya Kab. Sidenreng Rappang.
Gurutta juga pernah
menjadi Ketua Partai Masyumi tahun 1948. Kemudian bergabung dengan DI/TII pada
tahun 1955. Kemudian tahu 1971 bergabung dengan Partai Nahdhatul Ulama.
Kemudian di tahun
1974 Gurutta mendirikan Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaa yang sudah lama
Gurutta cita-citakan sebelumnya.
Cerminan corak
pemikiran Gurutta dapat dilihat dari beberapa karya yang telah ditorehkannya
dalam beberapa buku dan kitab seperti :
a. Al
Khotbah Al-Mimbariyah (1944)
b. Fiqih
Muqaran (1953)
c. Tafsera
Akorang Ma’basa Ogi (1966)
Luar biasa..smoga kelak mash ada sperti beliau..tolong sering2 buat blog tentang ulama sidenreng.
BalasHapusMasya Allah
BalasHapus